SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH ORANG YANG BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN "CAHAYA AS-SALAM" 'KITAB, AL-QURAN, HADITS, OASE ISLAM, BLOG TUTORIAL '

Sabtu, 28 Maret 2009

Makna Bid'ah Menurut Imam Asy-Syathibi

lanjutan

MAKNA BID'AH MENURUT IMAM ASY-SYATHIBI[7]

Kemudian, apakah makna bid'ah? Dan, apa pengertian bid'ah yang dinilai oleh Nabi saw. sebagai kesesatan dalam agama? Bid'ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi', adalah "cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT".[8] Ini merupakan definisi bid'ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi seluruh aspek bid'ah.

MEDAN OPERASIONAL BID'AH ADALAH AGAMA

Dari definisi tadi dapat dipetakan bahwa medan operasional bid'ah adalah agama. Ia adalah "tindakan mengada-ada dalam beragama". Dalil pernyataan ini adalah sabda Rasulullah saw., "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."[9]

Dalam riwayat yang lain, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."[10] Artinya, dikembalikan kepada pelakunya, sebagaimana halnya uang palsu yang tidak diterima untuk dijadikan sebagai alat jual-beli, dan ia dikembalikan kepada pemiliknya. Hadits ini juga dinilai oleh para ulama sebagai salah satu pokok agama Islam. Ia adalah bagian dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba'in, ed.).

Para ulama berkata bahwa ada dua hadits yang saling melengkapi satu sama lain; pertama hadits yang amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang batin, yaitu hadits, "Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleh niat."[11]

Kedua, hadits yang juga amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang zahir, yaitu makna yang dikandung oleh hadits ini, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."

Agar amal ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT, harus dipenuhi dua hal ini:

1. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT, dan
2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.

Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh, seorang faqih yang zaahid 'orang yang zuhud' (para zaahid generasi pertama adalah para fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT, "... supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.... "(al-Mulk:2); Amal ibadah apakah yang paling baik? Ia menjawab, "Yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar." Ia kembali ditanya, "Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu?" Ia menjawab, "Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar, namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan 'ikhlas' adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan 'benar' adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah."

Keharusan amal ibadah hanya ditujukan untuk Allah SWT, yaitu sebagaimana dideskripsikan oleh hadits, "Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleb niat." Dan, keharusan amal ibadah sesuai dengan tuntunan Sunnah adalah seperti dideskripsikan oleh hadits, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kami (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."

Dengan demikian, perbuatan bid'ah hanya terjadi dalam bidang agama. Oleh karena itu, salah besar orang yang menyangka bahwa perbuatan bid'ah juga dapat terjadi dalam perkara-perkara adat kebiasaan sehari-hari. Karena, hal-hal yang biasa kita jalani dalam keseharian kita, tidak termasuk dalam medan operasional bid'ah. Sehingga, tidak mungkin dikatakan "masalah ini (salah satu masalah kehidupan sehari-hari) adalah bid'ah karena kaum salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in tidak melakukannya". Bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang baru, namun tidak dapat dinilai sebagai bid'ah dalam agama. Karena jika tidak demikian, niscaya kita akan memasukkan banyak sekali hal-hal baru yang kita pergunakan sekarang ini sebagai bid'ah: seperti mikropon, karpet, meja, dan bangku yang kalian duduki, semua itu tidak dilakukan oleh oleh generasi Islam yang pertama, juga tidak dilakukan oleh sahabat, apakah hal itu dapat dinilai sebagai bid'ah?

Oleh karena itu, ada orang yang bersikap salah dalam masalah ini sehingga jika melihat ada mimbar yang anak tangganya lebih dari tiga tingkat, niscaya dia akan berkata, "ini adalah bid'ah". Tidak, bid'ah tidak termasuk dalam masalah seperti itu. Rasulullah saw. pertama kali berkhotbah di atas pokok pohon kurma, kemudian ketika manusia bertambah banyak, ada yang mengusulkan, "Tidakkah sebaiknya kami membuat tempat berdiri yang tinggi bagi baginda sehingga orang-orang yang hadir dapat melihat baginda?" Setelah itu, didatangkan seorang tukang kayu, ada yang mengatakan ia adalah tukang yang berasal dari Romawi. Selanjutnya, si tukang kayu membuat mimbar dengan tiga tingkat. Seandainya dibutuhkan mimbar yang lebih dari tiga tingkat, niscaya ia akan membuatnya. Masalah ini tidak termasuk dalam lingkup medan operasional bid'ah.

Oleh karena itu, sangat penting sekali kita mengetahui apa yang dimaksud dengan sunnah? Dan, apa yang dimaksud dengan bid'ah? Juga ada kesalahan sikap dalam memandang perbuatan-perbuatan Rasulullah saw.. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah sunnah. Padahal, para ulama berkata bahwa perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang termasuk sebagai sunnah hanyalah perbuatan yang ditujukan oleh beliau sebagai perbuatan ibadah.[12]

Di antara contohnya, Nabi saw.--pada beberapa kesempatan--melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh. Setelah itu, beliau berbaring dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan.[13] Dari sini, ada sebagian ulama--diantaranya Ibnu Hazm--yang menyimpulkan bahwa setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh kita harus berbaring miring di sisi kanan tubuh kita. Padahal, Aisyah r.a. berkata, "Nabi saw. berbaring seperti itu bukan untuk mencontohkan perbuatan sunnah, namun semata karena beliau lelah setelah sepanjang malam beribadah sehingga beliau perlu beristirahat sejenak."[14]

Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. perlu diperhatikan, apakah yang beliau lakukan itu ditujukan sebagai perbuatan ibadah atau bukan. Di sini banyak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman, misalnya seperti yang terjadi dalam masalah tata cara makan. Sebagian orang berpendapat bahwa makan dengan sendok dan garpu, atau di meja makan, adalah perbuatan bid'ah. Ini adalah sikap yang berlebihan dan ekstrem. Karena, masalah ini adalah bagian dari kebiasaan sehari-hari yang berbeda-beda bentuknya antara satu daerah dan daerah lain, dan antara satu zaman dan zaman lainnya. Nabi saw makan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh lingkungan beliau, terutama yang sesuai dengan sifat Rasulullah saw., yakni sifat memberikan kemudahan, tawadhu', dan zuhud. Namun demikian, makan dengan menggunakan meja makan atau menggunakan sendok dan garpu, bukanlah sesuatu yang bid'ah. Lain halnya dengan sebagian sisi dari tata cara makan itu.

Saya pernah didebat oleh seorang penulis besar-yaitu seorang tokoh yang sering menulis artikel di majalah-majalah dan kadang-kadang menulis tentang topik keislaman--tentang tuntunan makan dengan tangan kanan. Ia berkata bahwa hal itu bukan sunnah karena ia hanyalah suatu bentuk adat kebiasaan belaka. Saya menjawab bahwa bukan begitu permasalahannya. Dalam masalah seperti ini, kita harus memperhatikannya dengan cermat. Benar, masalah makan dengan sendok dan garpu, atau makan di lantai atau di meja makan, adalah masalah yang bersifat praktikal, dan setiap orang melakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah kaumnya; selama tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa suatu cara tertentu dilakukan sebagai bentuk beribadah, atau ada tuntunan sunnah di situ. Sedangkan, masalah makan dengan tangan kanan, tampak dengan jelas adanya petunjuk Nabi saw. untuk melakukan hal itu. Karena, secara eksplisit Rasulullah saw. memerintahkan hal itu, yaitu saat beliau bersabda kepada seorang anak, "Bacalah nama Allah, Nak, kemudian makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan (hidangan) yang dekat dengan kamu."[15]

Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. melarang melakukan tindakan sebaliknya, seperti alam sabda beliau, "Hendaklah kalian tidak makan dan minum dengan tangan kiri kalian karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya."[16]

Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu menunjukkan keharaman (makan dan minum dengan tangan kiri) karena beliau menyerupakan orang yang melakukan tindakan seperti itu dengan setan. Dan, beliau tidak pernah menyerupakan sesuatu perbuatan sebagai perbuatan setan dalam masalah yang makruh.

Saat Rasulullah saw. melihat seseorang makan dengan tangan kirinya, beliau bersabda kepadanya, "Makanlah dengan tangan kananmu." Orang itu menjawab, "Aku tidak bisa." Rasulullah saw. kembali bersabda, "Engkau pasti bisa."[17] Kemudian Rasulullah saw. menyumpahi orang itu sehingga ia tidak lagi dapat mengangkat tangan kanannya setelah itu. Ini menunjukkan bahwa masalah ini (makan dengan tangan kanan) amat ditekankan.

Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini kita harus memperhatikannya dengan cermat agar mengetahui batasan dan aturan-aturannya yang terdapat dalam tuntunan Rasulullah saw.. Untuk kemudian kita usahakan untuk mengetahui mana tindakan yang ditujukan sebagai perbuatan sunnah dan sebagai bentuk beribadah kepada Allah SWT, dan mana tindakan yang bersifat sekadar kebiasaan dan alami.

Kadang-kadang Nabi saw. melakukan sesuatu seperti cara kaum beliau melakukan hal itu, beliau makan dengan cara seperti mereka makan, beliau minum dengan cara seperti mereka minum, dan beliau berpakaian dengan cara seperti mereka berpakaian. Dan, terkadang beliau melakukan sesuatu sesuai dengan kecenderungan selera beliau. Misalnya, beliau senang makan labu. Apakah kita semua harus senang makan labu? Masalah-masalah seperti ini ditentukan oleh selera masing-masing orang; ada orang yang senang sop kaki, ada yang senang sayur bayam, dan seterusnya.

Rasulullah saw. juga menyenangi daging kaki depan; apakah kita semua juga harus menyenangi daging kaki depan? Ada orang yang senang dengan daging punggung, ada yang senang dengan daging paha, dan seterusnya. Jika selera Anda kebetulan sama dengan selera Nabi saw, hal itu adalah baik dan berkah. Dan, jika ada seseorang yang berusaha sedapat mungkin mencontoh seluruh perilaku Rasulullah saw hingga pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan tuntunan agama karena semata dorongan kecintaannya yang demikian besar terhadap Rasulullah saw., dan kesungguhannya untuk mencontoh segala hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., ini juga suatu tindakan yang terpuji, meskipun hal itu tidak dianjurkan oleh agama.

Jika ada seseorang yang berkata, "Aku ingin mencontoh segala perilaku Rasulullah saw., meskipun apa yang dilakukan oleh beliau tidak termasuk dalam tuntunan ibadah. Aku akan makan dengan bersila di lantai dan dengan menggunakan tanganku (tanpa menggunakan sendok dan garpu), seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.." Kepada orang seperti itu kami katakan, semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan kepadamu. Kami tidak akan mengingkari tindakannya itu, dan barangkali orang itu akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.

Adalah Ibnu Umar r.a. karena kesungguhannya yang besar untuk mengikuti segala perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kesempurnaan cintanya kepada beliau, ia mengikuti segala apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., meskipun hal itu tidak termasuk perbuatan ibadah atau bukan perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan.[18] Demikian juga sebagian sahabat yang lain.

Misalnya, ada seorang sahabat yang melihatnya sedang shalat dengan kancing yang terbuka; saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa ia melihat Rasulullah saw. melakukan perbuatan seperti itu.[19] Padahal, barangkali Nabi saw. melakukan hal itu semata karena pada saat itu beliau sedang kegerahan atau dalam keadaan musim panas. Lantas, apakah Anda akan melakukan tindakan yang sama pula pada saat musim dingin! Itu hanyalah pendapat Ibnu Umar saja. Suatu saat Ibnu Umar sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, tiba-tiba ia meminggirkan kendaraannya dari jalan sehingga rombongan yang menyertainya merasa heran. Lantas, pembantunya menjelaskan bahwa ia melakukan hal itu karena dahulu ia pernah berjalan bersama Nabi saw. di tempat itu, kemudian saat tiba di tempat itu Rasulullah saw. bergerak minggir ke pinggir jalan.[20]

Dalam salah satu perjalanan ibadah haji, ia juga pernah mengistirahatkan kendaraannya di suatu tempat dan rombongan yang menyertainya juga ikut beristirahat bersamanya. Para anggota rombongan itu bertanya-tanya, apa yang ia ingin kerjakan di tempat itu? Ternyata, ia pergi ke suatu tempat dan melaksanakan hajatnya (membuang air kecil atau besar) di tempat itu. Dan, saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa hal itu dilakukannya karena pada saat Nabi saw. melaksanakan ibadah haji dan sampai ke tempat ini, beliau melaksanakan hajat beliau di tempat itu.[21]

Apakah tindakan seperti ini diperintahkan untuk dikerjakan oleh insan muslim? Tentu saja tidak, namun, perbuatan tadi adalah suatu bentuk manifestasi kesempurnaan cinta kepada Nabi saw.. Ia juga senang meletakkan untanya di tempat Rasulullah saw. meletakkan unta beliau.

Perbuatan semacam ini tidak kami cela kecuali jika orang itu mengharuskan manusia untuk melakukan tindakan seperti itu juga. Karena, perbuatan seperti itu tidak diperintahkan oleh agama. Oleh karena itu, ia harus mengetahui bahwa apa yang ia lakukan itu tidak harus dilakukan oleh manusia dan tidak wajib bagi mereka, juga bukan perbuatan yang sunnah.

Orang yang melakukan hal itu telah melakukan tindakan yang baik, namun ia menjadi salah jika ia menginginkan--atau malah memaksakan--orang lain untuk melakukan tindakan yang sama seperti yang ia lakukan, atau mengingkari dan mencela orang yang tidak melakukannya. Atau juga jika ia meyakini bahwa hal itu adalah bagian dari pokok agama, atau bagian darinya, atau menganggap orang yang meninggalkan perbuatan itu berarti telah meninggalkan sunnah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penting bagi kita memisahkan antara sunnah yang sebenarnya dan bid'ah.

-------------------------------------
catatan kaki :
[7] Ia adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Garnathi yang terkenal dengan asy-Syathibi. Ia adalah seorang ahli ushul fiqih dan hafizh hadits dari kalangan penduduk Garnathah (Grenada, saat ini). Di samping itu, ia juga seorang imam mazhab Maliki. wafat pada tahun 790 H/1388 M (lihat: al-A'laam, Zerekly, 10/75). Di antara karya-karyanya adalah kitab al-Muwafaqaat fi Ushul asy-syari'ah, sebuah kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Juga kitab al-I'tishaam fi Bayaan assunnah wal-Bid'ah. Kitab terakhir itu juga kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Namun sayangnya, sampai saat ini manuskrip nash kitab itu hanya ada satu buah, yang kemudian dicetak, di-tashih, dan diberikan anotasi oleh Imam Salafiah kontemporer: syeikh Muhammad Rasyid Ridha r.a. pengasuh majalah al-Manar dan pengarang tafsir al-Manar. Di dalam kitab itu terdapat banyak kontradiksi antar kalimat, dan redaksi-redaksi yang tidak jelas, namun karena manuskrip nash yang ada hanya satu buah saja sehingga naskah itu tidak dapat dikomparasikan antara dua naskah atau antara berbagai naskah manuskrip, untuk mencapai bentuk redaksional yang sebaik-baiknya, seperti yang dilakukan oleh para pen-tahqiq manuskrip-manuskrip lama. Sebagai tambahan, asy-Syathibi juga tidak menyelesaikan penulisan kitab itu.

[8] Asy-Syathibi, al-I'tishaam (Beirut: Darul Ma'rifah), juz 1, hlm. 37.

[9] Hadits Muttafaq 'alaih dari hadits riwayat Aisyah r.a.. Lihat: Syarh Sunnah, karya al-Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-Syawisy dan Syu' aib al-Arnauth, 1/211, hadits no: 103.

[10] Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah. Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhiib wa Tarhiib, 1/112, hadits no: 32.

[11] Potongan dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai, dari Umar bin Khaththab r.a. Lihat al-Muntaqa min Kitab at-Targhiib wat-Tarhiib, 1/102-103, hadits no: 3.

[12] Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca dalam buku al-Madkhal li Dirasat As-Sunnah an-Nabawiyyah, hlm. 24-32, karya Dr. Yusuf al-Qardhawi. Juga sebuah kuliah yang pernah disampaikan olehnya di Fakultas syari'ah Universitas Qathar tentang topik seputar "Sunnah Nabi dan Ragamnya". Di samping itu, ia juga mempunyai dua tulisan yang berkaitan dengan topik ini, yaitu al-Janib at-Tasyriri fi Sunnah an-Nabawiyah yang dipublikasikan oleh Markaz Sunnah dan Sirah dalam jurnal tahunannya. Demikian juga bukunya as-Sunnah Mashdaran lil Ma'rifah wal-Hadharah. (Buku terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dan diterbitkan oleh Gema Insani Press, 1998].

[13] Dari Aisyah r.a., ia berkata, "Nabi saw. setiap kali beliau usai melaksanakan shalat dua rakaat sebelum shubuh, beliau berbaring pada sisi kanan beliau." Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab at-Tahajjud, bab "adh-Dhaj'ah 'ala syaqqil-Aiman Ba'da Rak'atai al-Faji'.

[14] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq. Dalam mata rantai periwayatannya terdapat seorang perawi yang namanya tidak disebut dengan jelas. Lihat Fathul Bari, kitab at-Tahajjud, bab "Man Tahaddatsa Ba'da Rak'ataul wa lam Yadhthaji".

[15] Hadits Muttafaq 'alaih dari hadits Umar bin Abi salmah, Syarh Sunnah karya al-Baghawi, tahqiq asy-Syawisy dan al-Amauth, 11 /275, hadits no. 2823.

[16] Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Malik serta Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang sama redaksinya dari hadits Ibnu Umar. Lihat juga al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 2:598-599, hadits 1238.

[17] Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Iyas bin Salmah bin Akwa' bahwa ayahnya meriwayatkan kepadanya bahwa seseorang makan bersama Rasulullah saw. sambil menggunakan tangan kirinya. Kemudian, Rasulullah saw. memerintahkan orang itu, "Makanlah dengan tangan kananmu." Ia menjawab, "Aku tidak bisa." Rasulullah saw. kembali bersabda, "Engkau pasti bisa." Yang menghalangi dirinya untuk makan dengan tangan kanan hanyalah semata kesombongannya saja. sang periwayat kembali berkata bahwa orang itu kemudian tidak lagi dapat mengangkat tangannya ke mulutnya. Lihat Kitab al-ASyribah, bab "Adab ath-Tha'am wa Syarab wa Ahkamuha".

[18] Oleh karena itu, Ibnu Umar r.a. dikenal sebagai sahabat yang amat senang mengikuti segala tingkah laku Rasulullah saw. karena ia amat senang mengikuti ucapan dan perbuatan beliau.

[19] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dan Baihaqi dalam Sunan-nya dari Zaid bin Aslam. Ia berkata, "Aku melihat Ibnu Umar shalat dengan kancing yang terbuka. Kemudian, aku bertanya kepadanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab, "Karena aku pernah melihat Rasulullah saw. melakukannya."

[20] Dari Mujahid, ia berkata, "Suatu saat kami berjalan bersama Ibnu Umar r.a. dalam sebuah perjalanan. selanjutnya, kami melewati suatu tempat. Tiba-tiba di tempat itu Ibnu Umar menepi dari jalan. Saat ia ditanya, 'Mengapa engkau melakukan hal ihi?' ia menjawab, 'Karena aku pernah melihat Rasulullah saw. melakukan hal itu maka aku pun melakukannya." Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bazzaar dengan sanad yang baik. Haitsami berkata bahwa para perawinya dapat dipercaya, Lihat al-Muntaqa min Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/112, hadits 31.

[21] Dari Ibnu Sirin, ia berkata: kami bersama Ibnu Umar r.a. di Arafat. Saat ia istirahat, kami pun ikut istirahat bersamanya. Hingga datang imam shalat, maka ia pun shalat zhuhur dan ashar bersamanya. Kemudian aku dan sahabat-sahabatku wukuf bersamanya hingga imam bergerak keluar dari Arafah. Setelah itu, kami pun ikut bergerak. Hingga sampai ke suatu tempat sebelum Ma'zamain. Di situ, Ibnu Umar mengistirahatkan kendaraannya, maka kami pun mengikutinya. Kami menyangka ia akan melaksanakan shalat. Namun pembantunya yang menjaga kendaraannya mengatakan bahwa ia tidak hendak melaksanakan shalat, namun ia mengatakan bahwa Nabi saw., saat beliau sampai ke tempat itu, beliau melaksanakan hajatnya. Oleh karena itu, Ibnu Umar pun ingin melaksanakan hajat juga di tempat itu. Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi yang dijadikan andalan dalam kitab-kitab sahih. Atsar ini juga disebutkan oleh Al Hafizh al Manawi dalam kitab At Targhiib wa at Tarhiib, fashal at Targhiib fi ittiba' as sunnah. Lihat: al Madkhal li Dirasat as Sunnah an Nabawiah, karya Dr. Yusuf al Qaradhawi, hal: 24-32.

Sumber: Sunnah & Bid'ah, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar