SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH ORANG YANG BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN "CAHAYA AS-SALAM" 'KITAB, AL-QURAN, HADITS, OASE ISLAM, BLOG TUTORIAL '

Sabtu, 11 April 2009

Program Politik Kaum Yahudi

Ia dengan jernih melihat apa yang disebutnya sebagai “masalah Yahudi” sebagai suatu masalah politik. Dalam kata pengantar bukunya itu, ‘Der Judenstaat’, ia berkata,

“Saya percaya, bahwa saya memahami anti-Semitisme, yang sesungguhnya merupakan gerakan yang sangat kompleks. Saya mempertimbangkannnya dari sudut pandang orang Yahudi, tanpa rasa takut maupun benci. Saya percaya anasir (unsur-red.) apa yang saya lihat di dalamnya yang merupakan permainan yang jorok, sikap iri yang lazim, warisan prasangka, intoleransi keagamaan, dan juga pretensi (keinginan-red.) mempertahankan nilai-nilai. Saya rasa “masalah Yahudi” lebih banyak berbau sosial ketimbang keagamaan ,meskipun saya tidak menafikan kadangkala muncul hal itu dalam bergam bentuknya. Maalh itu pada hakekatnya adalah “masalah nasional” yang hanya mungkin diselesaikan dengan membuatnya masalah dunia politik yang dapat didiskusikan dan dikendalikan oleh bangsa-bangsa dunia beradab di suatu majelis”.

Theodore Herzl tidak hanya menyatakan bahwa kaum Yahudi harus membentuk suatu bangsa, tetapi dalam mengubungkan tindakan dari bangsa Yahudi ini kepada dunia, Herzl menulis,

“Bila kita tenggelam, kita akan menjadi suatu kelas proletariat revolusioner, pamanggul ide dari suatu partai revolusioner; bila kita bangkit, dipasikan akan bangkit juga kekuasaan keuangan kita yang dahsyat”.

Pandangan ini yang nampaknya pandangan yang sejati, merupakan pandangan yang telah lama terpendam di dalam benak kaum Yahudi, yang juga dikemukakan oleh Lord Eudtace Percy, dan diterbitkan ulang, agaknya dengan persetujuan ‘Jewish Chronicle’ Kanada, yang untuk membacanya membutuhkan kehati-hatian.

“Liberalisme dan nasionalisme dengan hingar bingar membukakan pintu ghetto (1.kampung Yahudi di kota, 2 bagian kota yang didiami terutama oleh golongan minoritas – red..)dan menawarkan kewarga-negaraan dengan kududukan yang sejajar kepada kaum Yahudi. Kaum Yahudi memasuki Dunia barat, menyaksikan kekuasaaan dan kejayaannya, memanfaatkan dan menikmatinya, turut-serta membangun di pusat peradabannya, memipin, mengarahkan dan mengeksploitasinya – namun kemudian menolak tawaran itu. Lagipula – dan hal ini sesuatu yang menarik – nasionalisme dan liberalisme Eropa, pemerintahan dan persamaan dalam demokrasi menjadi makin tidak tertangguhkan olehnya dibandingkan dengan penindasan dan kedzaliman despotisme (kelaliman-red.) sebelumnya.”

“Di suatu dunia dengan yurisdiksi(hak hukum – red.) kedaulatan negara yang dibatasi dengan jelas oleh batas-batas wilayah teritorial negara yang sepenuhnya disepakati secara internasional, (orang Yahudi) tinggal memiliki dua pilihan yang membuka kemungkinan baginya untuk memperoleh perlindungan : pertama, atau ia harus meruntuhkan pilar-pilar sistem negara nasional yang ada secara keseluruhan; kedua, atau ia harus menciptakan sendiri suatu wilayah teritorial yang seluruhnya berada di dalam genggaman yurisdiksi kedaulatannya. Mungkin disini terletak penjelasan tentang hubungan Bolshevisme (bahasa Rusia:’minoritas’) Yahudidan Zionisme, karena dewasa ini kaum Yahudi di Timur nampaknya terombang-ambing memilih di antara keduanya. Di Eropa Timur Bolshevisme dan Zionisme sering terlihat tumbuh bersamaan, persis seperti peran kaum Yahudidalam membentukpemikiran tentang ‘republikeinisme’ dan sosialisme sepanjang abad kesembilan-belas sampai kepada Revolusi Turki Muda di Istambul yang belum lewat satu dasawarsa yang lalu. Semuanya berlangsung bukan karena kaum Yahudi mempedulikan sisi positif dari falsafah-falsafah radikal itu, bukan karena ingin menjadi peserta dari nasionalisme atau demokrasinya kaum non-Yahudi, tetapi ‘karena tidak ada sistem pemerintahan yang ada pada kaum non-Yahudi, yang benar-benar memiliki makna bagi orang Yahudi, karena pa yang ada hanya menimbulkan kemuakan baginya’”.

Para pemikir Yahudi, semuanya tanpa kecuali,memandang apa yang ada pada kaum non-Yahudi seperti itu. Orang Yahudi selalu bersikap bertentangan dengan skema kaum non-Yahudi dalam segala hal. Kalau sekiranya kepada orang Yahudi diberikan kebebasa penuh untuk memilih, dapat dipastikan ia akaj memilih untuk menjadi seorang republikein yang anti-kerajaan, seorang sosialis yang anti-republik, atau seorang Bolshevis yang anti-sosialis.

Apa yang menjadi penyebab sikap yang nyeleneh ini ?
Pertama, Kekurang-mampuan orang Yahudi dalam memahami demokrasi. Watak orang Yahudi terbentuk oleh budaya dan agamanya cenderung otoriter. Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi orang Yahudi dimana pun ia berada, ia akan mendirikan suatu masyarakat aristokrasi atau sejenisnya (periksa tentang : ajaran Qabala). Demokrasi oleh orang Yahudi digunakan hanyalah sebagai alat, sekedar buah kata, yang digunakan oleh para juru-bicara Yahudi sekedar sebagai suatu mekanisme perlindungan kelompok (‘defence mechanism’) di tempat-tempat dimana mereka ditindas, serta untuk mendapatkan status persamaan; begitu telah mencapai kedudukan dan status yang sama, mereka segera berusaha mendapatkan privilese, hak-hak istimewa, yang seolah-olah telah menjadi hak mereka – seperti pada ‘Konperensi Perdamaian’ Versailes 1918 – menjadi contoh yang mengagetkan banyak orang. Kaum Yahudi sekarang ini adalah satu-satunya masyarakat dimana hak-hak khusus dan privilese yang dicantumkan khusus bagi mereka dituliskan di dalam ‘perjanjian-perjanjian’ dunia (teks aseli hak-hak istimewa bagi orang Yahudi dalam perjanjian Perdamaian Versailes 1918 dipublikasikan pada bulan Juli 1920; harap dirujuk juga kepada hak-hak khusu dan privilese istimewa Israel dalam resolusi-resolusi PBB).

Kedua, Terhadap sikap anti-Yahudi, ada tiga penyebab yang biasanya dijadikan mereka sebagai argumen : 1. prasangka keagamaan, 2. prasangka ekonomi, 3.antipati sosial. Masalahnya apakah kaum Yahudi itu menyadari atau tidak, bahwa bagi orang non-Yahudi, Yudaisme itu dipandang sebagai salah satu “agama wahyu” bersama-sama dengan Kristen dan Islam. Prasangka yang ada lebih banyak bersumber dari sebab non-keagamaan soal kecemburuan ekonomi barangkali memang ada. Sudah bukan rahasia lagi keuangan dunia itu ada dalam genggaman para bankir Yahudi; keputusan dan kebijaksanaan mereka menjadi hukum ekonomi-keuangan bagi dunia barat. Kecemburuan ekonomi mungkin dapat menjelaskan sebagai salah satu sebab dari timbulnya sikap anti-Yahudi; tetapi isa juga kecemburuan ekonomi yang menimbulkan “masalah Yahudi” itu merupaka unsur kecil dari suatu problema yang lebih besar. Sedangkan antipati-sosial di masyarakat Barat yang berkulit putih dan Kristen – beban antipati itu di Barat bukan hanya dipikul oleh orang Yahudi, tetapi juga oleh orang kulit hitam, orang Cina, orang muslim, serta komnitas lain di dunia ini, yang jumlah mereka justru lebih banyak daripada orang Yahudi. Orang Yahudi itu tidak pernah menyebut-nyebut politik sebagai penyebebnya, atau jika mereka nyaris keseleo lidah yang bernada sugestif ke arah itu, mereka segera membatasinya, atau melokalisasinya. unsur politik yang inheren (yang melekat/yang menjadi sifatnya – red.) melekat pada masyarakat Yahudi, ialah dimana saja mereka itu berada mereka senantiasa akan membentuk semacam “negara” sendiri di dalam negara tuan-rumah. Keterttutupan sikap masyarakt Yahudi yang lebih mengutamakan hubungan internal diantara mereka sendiri, menjadi salah satu penyebab utamayang menimbulkan sikap anti Yahudi.

---------------------------
sumber : Zionisme,Gerakan Menaklukkan Dunia. Z.A. Maulani

2 komentar:

Palestina Kliping Online mengatakan...

Assalamu'alaikum, wr.wb.

Salam kenal.Mohon izin beberapa artikel saya copy paste untuk diposting di blog saya.
Blog yang saya kelola berisi kliping.Bila keberatan, mohon beri komentar untuk segera saya delete.
terimakasih.

CAHAYA AS-SALAM mengatakan...

wa'alaikum salam. maaf teman saya baru balas. boleh aja copy paste semua artikel yang ada di blog saya. punya ilmu kan kan harus di sebarkan ma orang lain. oiya . salam kenal juga ya mas. tar saya lihat blog mas.

Posting Komentar